Hubungan Merokok Dengan SKIZOFRENIA

Ketergantungan tembakau merupakan kelainan yang paling sering terjadi pada populasi dengan penyakit mental berat. Sekitar 70-80% dari individu dengan skizofrenia, kelainan bipolar dan penyakit mental berat lain menggunakan tembakau, sementara prevalensi merokok pada populasi umum hanya 20-30%. Individu dengan skizofrenia memilik frekuensi merokok 1,5-2 kali lebih tinggi dibanding populasi umum, dan diantara semua diagnosis psikiatri frekuensi merokoknya 1,5 kali lebih tinggi. Skizofrenia merupakan salah satu penyakit mental yang paling melemahkan, mempengaruhi kira-kira 1% populasi global. Penyakit ini ditandai dengan adanya gangguan pada kognisi dan emosi, serta mempengaruhi bahasa, pikiran, persepsi, afek, dan perasaan diri. Gejala meliputi manifestasi psikotik seperti mendengar suara dari dalam diri, atau mengalami sensasi lain yang tidak berhubungan dengan sumber yang jelas (halusinasi) dan memberikan arti atau maksud yang tidak biasa pada kejadian normal atau mempertahankan kepercayaan personal yang salah (delusi).

Ketergantungan tembakau telah menjadi pusat perhatian pada populasi ini. Individu dengan skizofrenia memiliki angka ketergantungan tembakau 2-4 kali lebih tinggi dibandingkan populasi umum. Penggunaan tembakau tidak hanya menurunkan kualitas hidup pasien, tapi juga menyebabkan kematian akibat penyakit medis. Individu dengan skizofrenia rata-rata menghisap sebanyak 25 batang rokok tiap harinya. Hal ini lebih tinggi secara signifikan dari populasi umum.

Biaya bulanan yang dikeluarkan pasien skizofrenia untuk rokok menjadi sangat besar. Efek berbahaya dari merokok pada pasien dengan skizofrenia meliputi angka kejadian kanker yang tinggi, penyakit kardiovaskular dan respirasi, serta meningkatnya gejala psikiatri dan gejala kambuhan yang lebih berat.

Demografi dan Gejala Klinis
Puncak onset skizofrenia pada laki-laki biasanya terjadi antara usia 15-25 tahun, sedangkan pada wanita puncak onset terjadi pada usia 25-35 tahun. Walaupun insiden penyakit ini sedikit lebih tinggi pada laki-laki, wanita juga tidak jarang mengalami penyakit ini. Namun ada pula studi yang menyatakan bahwa insiden dan prevalensi skizofrenia sama pada laki-laki dan perempuan. Pada kedua gender, onset dari penyakit ini dipercepat dengan adanya suatu fase premorbid, yang secara tipikal terjadi pada masa kanak-kanak, yang ditandai adanya defisit kognitif, motorik dan sosial yang ringan dan kadang menunjukkan gejala-gejala seperti depresi (depression like symptoms). Walaupun fase berikutnya dapat bervariasi pada waktu terjadinya, fase prodromal dari penyakit biasanya mulai muncul saat remaja. Gejala negatif juga dapat menyebabkan gangguan fungsional yang lebih berat dibandingkan dengan psikosis. Gejala negatif dan defisit kognitif merupakan faktor prediktif penting dalam menentukan kemampuan pasien untuk dapat melakukan aktivitas sehari-hari. Gejala klinis yang lain dari skizofrenia meliputi cemas, gangguan penglihatan, disorientasi dari pikiran dan tingkah laku, gangguan sensorik dan motorik serta gangguan mood. Individu dengan skizofrenia juga memiliki angka mortalitas yang tinggi. Mereka lebih rentan untuk melakukan usaha bunuh diri karena gaya hidup yang miskin dan juga memiliki lebih banyak penyakit medis.

Faktor Resiko
Walaupun penyebab pasti dari skizofrenia masih belum diketahui, resiko genetik, biologikal, lingkungan dan neurodevelopment telah diusulkan untuk menjelaskan skizofrenia. Faktor resiko berikut ini dijelaskan di bawah: faktor genetik, lingkungan, teori peningkatan neurotransmiter dan teori neurodevelopmental, serta faktor resiko
penggunaan zat.

  1. Resiko skizofrenia
    Meningkat pada populasi yang tidak bekerja, berpendidikan rendah, tidak menikah serta mereka yang memiliki tingkat sosioekonomi rendah.
  2. Studi mengenai genetik dan keluarga
    telah menunjukkan bahwa mereka yang memiliki orangtua ataupun saudara kandung dengan skizofrenia memiliki kemungkinan sepuluh kali lipat lebih besar untuk mengalami penyakit yang sama, dan mereka dengankedua orangtua skizofrenia lima puluh kali lipat lebih mungkin mendapatkan penyakit tersebut.
  3. Kembar monozigot
    suatu resiko yang lebih besar untuk perkembangan penyakit skizofrenia.  Satu teori yang diajukan tentang gejala skizofrenia adalah bahwa individu dengan penyakit tersebut cenderung memiliki peningkatan level neurotransmiter dopamin di otak mereka. Teori ini didasarkan pada efek dari obat stimulan yang meningkatkan neurotransmisi dopaminergik. Selain itu juga ditemukan bahwa ketika individu dengan skizofrenia diterapi dengan obat antipsikotik, terdapat suatu penurunan neurotransmisi dopaminergik di otak dan pasien menunjukkan fungsionalitas yang lebih baik pada level perseptualdan gejala positif yang lebih sedikit.
  4. Faktor lingkungan
    menyebabkan penyakit ini meliputi sensitifitas individu ini pada lingkungan sekitar setiap harinya seperti musim, urbanisasi, status sosioekonomi dan hubungan kekeluargaan serta interaksi dari semua faktor tersebut meningkatkan insiden penyakit ini.

 

Referensi:
Patel M. Tobacco Dependence and Schizophrenia: A Complex Correlation Journal of Young Investigators. Vol 19; Issue 20. 2010.

 

Tags: , , , , ,

 

Share this Post



 
 
 
 

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *